Selasa, 14 Juni 2011

PLTP Mutubusa dan Kecemasan Warga Ngalupolo

KENDATI mendapat kecaman dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan dan elemen mahasiswa, megaproyek pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mutubusa di Desa Sokoria, Kecamatan Ndona Timur, Kabupaten Ende, Flores, NTT dipastikan terus berjalan.

PT. Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) selaku pemegang hak pengembang yang merupakan konsorsium antara perusahaan Bakrie Power dan perusahaan ENI, anak perusahaan dari PT PLN (Persero) rupanya sudah bulat untuk mewujudkan proyek multiyear yang direncakan sejak beberapa tahun silam ini.

Pemerintah Kabupaten Ende pun mendukung sepenuhnya pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi ini, hal tersebut ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara PT SGI-Pemkab Ende di Kantor Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral Panas Bumi dan Batubara (Minerab) di Jakarta, 17 September 2009. Pada kesempatan ini pemegang tender yakni PT SGI menggelontorkan uang jaminan sebesar 100 Miliar Rupiah kepada Pemkab Ende sebagai wujud keseriusan. (Flores Post, September 2009). Sementara di lokasi proyek, sejumlah fasilitas pendukung tengah dikerjakan, tinggal saatnya menunggu pengeboran.

Bagi pemerintah Kabupaten Ende, realisasi proyek panas bumi Mutubusa setidaknya memberi harapan baru terhadap ketersediaan energi listrik di daerah ini. Wakil Bupati Ende Bernadus Gadobani (ketika masih aktif) menyebut, estimasi kajian Badan Geologi dan Sumber Daya Mineral yang berkedudukan di Bandung, kawasan Mutubusa memiliki sumber panas bumi yang dapat menghasilkan daya listrik berkisar 25 megawatt (MG). Jika PLTP tersebut terealisasi dengan kapasitas daya sebesar itu, maka seluruh wilayah Kabupaten Ende akan terlayani penerangan listrik. Bahkan, daya listrik itu masih dapat dijual ke kabupaten tetangga. Sebab untuk penerangan seluruh Ende hanya perlu 4,5 MG (Kompas online, Kamis 18 Mei 2006).

Namun di tengah optimisme Ende bakal menjadi daerah pensuplai energi listrik di daratan Flores, justeru memunculkan rasa cemas warga kampung bagian hilir pegunungan Mutubusa hingga kampung pesisir pantai Ngalupolo. Orang-orang kampung di kawasan ini khawatir, efek eksplorasi panas bumi Mututubusa berdampak pada kerusakan lingkungan. Bayangan banjir bandang yang menghabiskan ratusan hekar sawah dan lahan pertanian berikut ternak mereka pada pertengahan tahun 90-an akan terulang kembali.

Adalah masyarakat Desa Ngalupolo yang kini sangat risau. Penduduk berjumlah sekitar 600 jiwa mayoritas petani ini sejak puluhan tahun silam mengandalkan tanah bantaran sungai untuk lahan pertanian (sawah), tapi kini tinggal kenangan. Bantaran itu telah berubah menjadi ladang batu. Dan, ketika itu pula, orang Ngalupolo kesulitan bercocok tanam, andalan penghidupan sehari-hari, biaya sekolah anak bertumpu pada hasil tenun sang isteri. Praktis, akhir tahun 90-an sebagain masyarakat Ngalupolo kehilangan mata pencarian tetap, akibatnya beralih profesi menjadi pekerja proyek.

Kenyataan keterpurukan nasib pertanian Ngalupolo memang nyaris tak terendus pemerintah dan terekspos media massa. Kehidupan masyarakatnya pun dipandang wajar-wajar saja, sejatinya perekonomian masyarakat Ngalupolo sangat rapuh.
Trauma akan bencana banjir dan ancaman kekeringan seiring gencarnya pemerintah menggolkan proyek PLTP Mutubusa semakin menambah beban sikologis masyarakat Ngalupolo. Maklum, air sungai yang menjadi sumber kebutuhan sehari-hari di daerah ini berasal dari pegunungan Sokoria. Nah, apa jadinya jika sebagian hutan kawasan hulu sungai tersebut dibabat untuk kepentingan proyek. Sementara memasuki musim kemarau saja, aliran sungai ini terancam kering. Debit air menurun drastis.

Pada titik inilah, pemerintah mesti jeli melakukan kajian teknis dan ilmiah terhadap dampak lingkungan (Amdal) dari eksplorasi atau eksploitasi pertambangan panas bumi Mutubusa.
Pemerintah, seharusnya tidak memandang sebalah mata terhadap penolakan yang disuarakan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI) Ende.

Fakta terburuk kerusakan lingkungan yang diakibatkan eksplorasi alam sudah sering terjadi di Indonesia dan masyarakatlah yang menerima kerugian. Semburan lumpur panas di Sidoarja, Jawa Timur dan Mataloko, Bajawa adalah sebagian kecil dari kebanyakan dampak buruk eksplorasi gas alam di Indonesia.

Fakta lain yang mesti menjadi atensi dan referensi pemerintah Kabupaten Ende khususnya anggota DPRD untuk mempertimbangkan pengeboran gas bumi Mutubusa, yakni bercermin dari penolakan masyarakat Bali terhadap proyek geothermal di Bedugul. Dimana masyarakat di Pulau Dewata ini seiya-sekata untuk mengentikan proyek berkapasitas maksimum 175 MW Equivalent tersebut. Atau penolakan serupa yang dilakukan masyarakat Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat serta masyarakat Desa Karang Kandri, Kecamatan Kesugihan Cilacap, Jawa Tengah. Tujuannya hanya satu, demi keselamatan lingkungan.

Krisis energi listrik sesungguhnya bukan hal baru menimpa negeri ini. Pemadaman bergilir bahkan black out (padam total) dengan beragam alibi sudah seringkali dilakukan pemerintah sejak bertahun-tahun lalu. Alasan yang biasa diajukan adalah karena kelebihan beban saat jam-jam sibuk (baban puncak), selain itu pasokan minyak dan batu bara untuk pembangkit listrik yang sering tersendat juga kerap dijadikan alasan sebagai justifikasi pemadaman listrik yang biasa lakukan.

Berpijak dari alasan klasik tersebutlah, seakan melegitimasi pemerintah dan pengembang mencari sumber energi alternatif dari panas bumi atau sejenisnya. Padahal masih banyak cara lain skenario mengatasi devisit energi listrik yang ramah lingkungan.

Di Indonesia energi ramah lingkungan atau energi hijau (green energy) memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan. Merujuk ke sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui dan tidak mencemari lingkungan seperti air, sinar matahari dan angin, termasuk juga energi yang berasal dari makhluk hidup atau yang lebih dikenal (biomassa). Misalnya, minyak jelantah.
Kembali pada eksplorasi perut bumi, celakanya, jika solusi tanpa melalui kajian yang mendalam terlebih dulu, maka, kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat jadi sasaran. Dan, lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat awam yang mempunyai keterbatasan daya dalam memperjuangkan hak-hak mereka. ***

ditulis, september 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar