Selasa, 14 Juni 2011

Lebu Raya dan Sejarah Baru Masyarakat Ngalupolo

Rombangan Gubernur disambut oleh para mosalaki
LANGIT di atas kampung Ngalupolo, Selasa 6 Juli 2010 tampak mendung. Matahari yang biasanya sumringah menyapa pagi warga dari balik bukit, belum menampakkan batang hidungnya. Hingga pukul 10.00 WITA, kabut tebal masih menyelimuti hutan-hutan di atas bukit. Hujan rintik pun mulai membasahi tanah kampung. Praktis, cuaca yang kurang bersabat ini membuat warga cemas. Mereka khawatir, rencana kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya ke kampung hari itu akan batal.

Sementara tepat di tengah-tengah kampung berdiri tenda sederhana ukuran 15×10 meter beratap terpal kusam dan deretan kursi-kursi plasik yang ditata melingkari sebuah tubu musu (prasasti, tempat pelaksanakan ritual pemujaan atau persembahan pada roh para leluhur) seakan tak sabar menanti kehadiran rombongan gubernur.

Alunan suara nggo lamba (musik tradisional) untuk mengiringi ibu-ibu penari saat melakukan penyambutan terdengar kian kencang ditabuh. Bersamaan itu, ratusan warga berbondong-bondong menuju jalan masuk (gerbang kampung) dari kota Ende, tepatnya di Nua Ndewi. Di, tempat inilah rombongan Gubernur NTT dan Bupati Ende Drs. Don Bosco M. Wangge, M.Si bakal disambut secara adat Ngalupolo oleh mosalaki (para pemangku adat).

Namun, hingga pukul 12.00 WITA, rombongan yang dinanti belum juga datang. Beberapa warga mulai kesal. Mereka tidak yakin, tokoh penting seperti gubernur melakukan kunjungan kerja di suatu tempat (desa) terpencil hanya diinformasikan dalam dua hari sebelumnya, “jelas terlalu mendadak,” pikir mereka. Selain itu, cuaca yang kurang bersahabat, sangat tidak mungkin orang nomor satu di NTT tersebut rela menantang maut melintasi jalan terjal, menelusuri tebing tinggi dan jurang yang dalam dengan jarak tempuh belasan kilometer.

Tapi sungguh sebuah “keajaiban” bagi masyarakat Ngalupolo, tepat pukul 12.45 WITA, iringan mobil pengantar rombongan gubernur dan bupati memasuki kampung. Sontak, sorak-sorai warga terdengar riuh. Dan ketika itu pula, tujuh orang mosalaki melakukan penyambutan secara adat, seraya mempersilakan rombongan menelusuri tengah kampung hingga menuju tenda yang telah dipersiapkan.

Sejarah dan Perutusan

Tokoh masyarakat Ngalupolo, Marselinus Neni tak dapat menyembunyikan rasa haru atas kedatangan Gubernur Frans Lebu Raya dan Bupati Don Bosco Wangge. Ia bahkan sempat meneteskan air mata. “Bagi kami, kehadiran bapak-bapak hari ini bagaikan durian runtuh. Ini berkah yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya,” tuturnya dalam acara dialog.

Rasa simpati dan apresiasi yang tinggi juga diungkapkan tokoh masyarakat Oktavianus Minyo. Menurut Minyo, kehadiran dua pemimpin daerah (Gubernur dan Bupati) secara bersama, telah mengukir sejarah baru bagi Desa Ngalupolo. “Sungguh luar biasa dan menjadi sejarah bagi kampung kami. Karena sejak Indonesia mardeka, baru kali ini Gubernur dan Bupati mengijakkan kaki secara bersama di kampung terpencil ini,” katanya.

Kepala SD Katolik St. Yosef Ngalupolo, Theodorus Dua, bahkan dalam doa spontannya menyebut, kehadiran dua pemimpin itu sebagai tugas perutusan dari Tuhan.
Rasanya tidak berlebihan, jika Theodorus Dua menganggap kunjungan itu sebagai tugas perutusan Tuhan. Pasalnya, secara kasat mata, realita kampung Ngalupolo sangat tidak mungkin didatangi pejabat setingkat gubernur baik dilihat dari pertimbangan politik maupun ekonomi. Selain, perjalanan penuh resiko melintasi tebing dan jurang yang terjal, Ngalupolo memang tidak memiliki potensi unggulan dari sumber daya alam (SDA) untuk menunjang PAD, karena merupakan daerah gersang dan tandus. Begitu pula jumlah penduduk pun hanya ratusan jiwa.
Melihat kenyataan ini memang sungguh ironi, bila Gubernur Lebu Raya memilih Ngalupolo ketimbang desa-desa lain di Kabupaten Ende yang lebih strategis sebagai tujuan kunjungan kerjanya.
Tidak heran, bila banyak kalangan di Kabupaten Ende yang cemburu dan menanyakan ada apa dengan Ngalupolo?. Tapi bagi masyarakat Ngalupolo, inilah misteri Tuhan. Entah apapun namanya misi kehadiran Gubernur saat itu, hanya sekadar jalan-jalan (piknik) ataupun kunjungan kerja, namun telah memberi banyak makna di hati mereka.
Hangat, Gubernur menyapa anak-anak SD

Frans Lebu Raya sendiri tampak menikmati ketika berada di tengah-tengah masyarakat Ngalupolo. Bahkan, Gubernur NTT yang ke 7 ini, tanpa sungkan menggandeng tangan anak-anak SD seraya mengajak bicara, hal yang sama pun dilakukanya kepada ibu-ibu.
Dalam sambutannya, Lebu Raya mengaku bangga dengan masyarakat Ngalupolo yang tegar menjalani hidup meski berada dalam kondisi alam menantang (ekstrim). Dikisahkan Lebu Raya, potret Desa Ngalupolo menjadi ilustrasi kenangan  semasa dirinya masih kanak-kanak di kampung halaman, Flores Timur. Dimana hidup di desa terpencil dengan penuh keterbatasan, namun  dengan semangat hidup yang tinggi segala kesulitan itu bisa dilalui. “Sekarang kita boleh bersyukur, akses jalan raya sudah masuk sehingga masyarakat bisa menggunakan kendaraan untuk berpergian ke kota. Kenyataan baik ini, tidak terlepas dari kerja keras bapak-ibu dalam mendukung program pembangunan pemerintah,” ujarnya.

Bagi dirinya, mengarungi jalan berliku di atas tebing terjal dan jurang yang dalam bukan menjadi halangan untuk terus maju. “Pemimpin mesti berani berkorban, sebesar apapun tantangan harus dihadapi untuk melihat langsung kondisi masyarakat di bawah,” katanya.
Dalam kunjungan tersebut, Frans Lebu Raya menggelontorkan sumbangan semen 100 sak, sumbangan dana untuk Gereja, Masjid, SD K. St. Yoseph Ngalupolo, SMPN 2 Ndona di Ngalupolo, kelompok kerajinan tenun dan kelompok nelayan. ***
ditulis, Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar