WAHAI anak-anakku, di belahan dunia mana pun engkau mengembara, ibu mu tercinta “Ngalupolo” selalu merindukan kalian semua.
Ketahuilah….bila suatu saat engkau kembali ke pangkuanku, janganlah menangis karena banyak yang telah berubah dari wajah ibu yang semakin tua dan gersang ini.
Kamu pun tak akan lagi menyaksikan ritual nggua kibi, wake laki, so au, sete uwi atau apapun seremonial adat yang diwariskan para leluhur yang sangat kita sakralkan selama ini, karena semuanya sudah “punah” seperti ditelan jaman.
Deretan rumah-rumah adat dengan arsitek kuno nan unik yang menjadi kebanggaan semasa engkau kanak-kanak dulu, kini hanya tinggal kenangan, musnah oleh tangan-tangan ‘jahil’ perkembangan moderninasi. Dan, lebih menyakitkan lagi, raibnya sejumlah “ana deo” yang ada di dalam keda kanga.
Padahal, benda-benda pusaka tersebut adalah bukti sejarah peradaban kita di masa lampau. Tapi, rupanya para orang tua (mosalaki maupun ana kalo fai walu) yang ada saat ini sudah tak perduli lagi dengan warisan leluhur yang menjadi roh nua kita. Sekarang pun jangan pernah lagi berharap untuk mendengarkan alunan merdu dari “nggo monga” di ladang, kala siang atau senja hari. Yang ada hanya raungan suara mesin kendaraan serta dentuman musik aneh jaman edan. Bahkan orang lebih banyak memilih menjadi tukang ojek dan pekerja proyek daripada menjadi petani. Mereka lebih sering kumpul main kartu serta hura-hura di rumah ketimbang berada di kebun.
Anakku…ibu seakan tak berdaya membendung derasnya arus modernisasi ini, mungkin tinggal menunggu waktu, aku ibu mu “Nagulupolo” akan disulap menjadi ‘orang kota’ yang tak punya jati diri.
Kini, untuk mengusik rasa muak, sepi dan penat di hati, Ibu hadir menyapa kalian semua melalui dunia maya. Setidaknya, dengan “Ngalupolo Online” ini, kita bisa berbagi cerita suka dan duka, terutama bagi anak-anakku di tempat perantuan.
Ibu sangat berharap, sumbangan pikiran dari kita semua untuk kembali mewujudkan tanah kelahiran kita tetap sebagai kampung yang mengharagai budaya. Karena budaya adalah harta paling berharga yang diwariskan leluhur. Budaya pula lah yang menjadikan kita beda dan dihargai orang lain. Dan kita pun akhirnya disebut sebagai “Orang Ngalupolo”.
Dari hati yang gelisah.
Salam hangat dari ibu “Ngalupolo”