Senin, 26 September 2011

Akhirnya Kami Merdeka!

Kepala Desa Ngalupolo, Raymundus Ru'u (kiri)
"Akhirnya kami merdeka!” Demikian ungkapan  kegembiraan warga Desa Ngalupolo saat akses jalan menuju desanya terbuka, seperti yang diceritakan Kepala Desa Ngalupolo Raymundus Ru'u kepada Tim Badan Litbang Pertanian. Kini warga desa dapat dengan mudah bepergian ke Ende maupun desa lainnya untuk keperluan mereka.

Ngalupolo terletak di selatan Pulau Flores, sekitar 30 km dari Ende. Sebelum akses jalan terbuka, untuk mencapai desa tersebut warga harus berjalan kaki menyusuri tebing-tebing yang curam. Kondisi topologi desa mereka memang sangat terpencil, terhalang oleh laut dan tebing-tebing berkemiringan mencapai 90 derajat. Dapat dibayangkan bagaimana mereka dengan susah payah memikul hasil usahataninya untuk dipasarkan di Ende.

Alternatif jalur lainnya adalah laut, namun cukup sulit juga karena terkendala kepemilikan perahu. Warga Ngalupolo tidak memiliki perahu sendiri, mengingat mahalnya harga sebuah perahu. Mereka harus menunggu dari warga desa tetangga yang akan ke kota Ende. Selain itu, faktor cuaca juga mempengaruhi. Bila cuaca buruk dan laut berombak besar, membuat warga tidak bisa menggunakan jalur laut tersebut.
Dengan terbukanya akses Desa Ngalupolo, maka terbuka pula akses ke desa lainnya, seperti Desa Reka, Desa Wolokota, Desa Kekasewa, Desa Nila, maupun Desa Ngaluroga. Selain itu, jalur tersebut menjadi jalan alternatif menuju Maumere.

Hasil usahatani pun, seperti kemiri, kacang mete, kakao, dengan mudah mereka angkut ke pasar Ende. Menurut Polce, mantan pengurus KID Ngalupolo, kemiri dijual dengan harga Rp. 6000 per kilonya. Volume yang dapat diangkutnya pun sebanyak 30-40 kilo sekali jual, lebih banyak daripada saat masih dipikul. Dengan ongkos angkut hanya Rp. 7000 sekali jalan, pendapatan Polce dari hasil penjualan kemiri pun bertambah.

Memang, bila lewat laut ongkosnya lebih murah, sekitar Rp. 5000, namun resikonya cukup besar karena kemiri yang dijual tidak boleh terkena air. Polce menjelaskan, kemiri akan berubah warna menjadi merah bila terkena air,yang artinya kualitasnya jelek. Bila hal itu terjadi, kemiri pun tidak laku di pasar. “Makanya saya lebih memilih lewat jalur darat,” imbuhnya.

Dari hasil penjualan usaha taninya, warga Ngalupolo kini telah melengkapi desa mereka dengan peralatan genset yang digunakan untuk penerangan rumah-rumah.
Warga pun sadar akan pentingnya akses jalan tersebut. Dengan swadaya masyarakat, ditambah dukungan dana dari Pemkab Ende, Kepala Desa, Polce dan kawan-kawan terus merawat jalan yang telah dibangun oleh Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian lewat Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI)-nya. *

(naskah dan foto diambil dari : http://www.litbang.deptan.go.id)

Jumat, 02 September 2011

Indahnya Ngalupolo….

“Ngalupolo desa permai serta indah lagi jaya....(2x)
memang amat maju,
memang memang amat maju, amat maju, amat maju
Ngalupolo Desa Ngalupolo

tiga bukit baku sambung, baku sambung, baku sambung...
bukit Nua Ndewi,
bukit Limbu Lo’o, Nio Olo Ngalupolo
Desa Ngalupolo .....”

Bila melantunkan syair-syair dari lagu “Desa Ngalupolo” ini, rasanya membawa suasana hati kita (putera/puteri) Ngaluplo jauh ke masa silam, masa dimana ketika kita masih mengenahkan pakaian seragam merah-putih. 

Ya… maklum saja, lagu berirama ‘gelombang’ dengan kata-kata sederhana, dipopulerkan Bapak Karolus Sabhe ini bahkan bisa dikatakan sebagai mars, Desa Ngalupolo, sehingga wajib diwariskan dari generasi ke genarasi. Maka tak heran bila semua anak Ngalupolo bisa menyanyikannya.

Ine, ame, kae, aji, nara, weta lei sawe.., sesungguhnya, bila direnungkan dengan baik, makna  dari syair-syair lagu tersebut, sangatlah luas. Interpretasi lagu “Desa Ngalupolo”, tidak sebatas mengisahkan keindahan sebuah kampung nan asri yang berada di lembah serta diapiti deretan bukit di sekelilingnya. Namun, jauh dari itu, sang pencipta lagu mengisaratkan pesan sosial yang lebih mendalam kepada kita generasi sekarang dan akan datang, agar memahami potret Ngalupolo dengan segala isi yang sesungguhnya.

Lalu, seperti apa amanat sosial yang diingini pencipta lagu itu?

Ngalupolo adalah sebuah kampung berada dalam bingkai alam perbukitan yang kita kenal dengan frame, Bukit Limbu Lo’o, Nua Ndewi, Nio Olo..dan seterusnya. Keberadaan rumah-rumah penduduk tak tersekat oleh apapun, kita merupakan satu-kesatuan yang utuh sebagai orang Ngalupolo, to’o  gheta ulu  jeka lau wiwi ma’u.

Menjadi suatu kebanggan bagi kita, selain alam yang mempesona, lukisan keindahan Ngalupolo juga terekam jelas dari kehidupan masyarakat sehari-hari. 
Bayangkan, sebuah kampung yang dijejali tebing serta jurang terjal hingga terisolir belasan bahkan puluhan kilometer dari hingar-bingar kehidupan kota, namun masyarakatnya hidup tentram dengan dua pijakan keyakinan berbeda yaitu Katolik dan Islam. Inilah keindahan Ngalupolo yang sesungguhnya. Ibarat bunga, meski berbeda jenis hidup dalam satu taman, namun terlihat indah. Kira-kira itulah makna luas dari lagu Desa Ngalupolo seperti yang diingini sang pencipta.

Ebe ine, ame, kae, aji, nara, weta lei sawe… warisan keindahan kampung Ngalupolo dari para leluhur kita sudah sepatutnya dijunjung tinggi sebagai asset yang harus kita jaga. Apalagi “keindahan” yang kita miliki ini jarang ada di belahan daerah manapun, sebuah kampung terpencil dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah serta tradisionil di masa lampau, hidup membaur dua keyakinan berbeda.

Sadar atau tidak sadar, Gereja dan Masjid di Kampung Ngalupolo, merupakan bagian dari perjalanan hidup bermasyarakat kita bertahun-tahun, yang memiliki peran penting dalam pembentukan karakter mental setiap individu, akhirnya kita pun hidup rukun dan teguh dalam keutuhan Ngalupolo.

Pada titik inilah, dari hati yang paling dalam, kita putera/puteri Ngalupolo  pewaris generasi seterusnya di masa-masa mendatang diajak untuk terus memupuk kekayaan yang kita miliki ini. Masjid maupun Gereja adalah obyek vital wujud dari pembangunan iman kita. Dan akhirnya dari pengamalan semua itu, kita pun satu sebagai orang Ngalupolo yang indah, permai dan jaya  ***

Minggu, 19 Juni 2011

Abrasi Pantai Ngalupolo Kian Mencemaskan

Para petani yang menggarap lahan di sepanjang pesisir Pantai Ngalupolo kini dihantui rasa cemas. Betapa tidak, lahan pertanian mereka terus menyusut sepanjang musim akibat gerusan air laut. Bahkan sejumlah petani kini memilih meninggalkan lahan garapannya karena telah berubah menjadi lahan batu. 

Raymundus Mere, salah seorang petani pesisir mengaku, abrasi Pantai Ngalupolo sudah berlangsung lama. Ia pun meyakini kenyataan buruk ini akan terus terjadi, seiring cuaca ekstrim yang tidak menentu. “Banyak pohon kelapa dan jambu mete terseret air laut,” tandasnya.
Selain lahan pertanian yang terancam hilang, hempasan ombak besar di Pantai Ngalupolo juga mengancam bangunan SMP Negeri 2 Ndona. Lokasi gedung sekolah yang dibangun hanya beberapa meter dari bibir pantai ini, sebagian tembok penyokong telah ambruk dihantam ombak. 

Sejumlah nelayan tradisional di Pantai Ngalupolo mengaku khawatir dengan keselamatan gedung sekolah tersebut. Padahal menurut mereka, keberadaan SMP Negeri 2 Ndona di Desa Ngalupolo sangat membantu orang tua murid  yang kurang mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke tingkat lanjutan pertama di kota. Bahkan sekolah tersebut tidak hanya menampung anak-anak dari Desa Ngalupolo  tetapi anak-anak dari desa lain juga banyak.
Kendati tingkat abrasi Pantai Ngalupolo kian mencemaskan, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda upaya penanggulangi baik dari masyarakat setempat maupun  pemerintah.***