Minggu, 19 Juni 2011

Abrasi Pantai Ngalupolo Kian Mencemaskan

Para petani yang menggarap lahan di sepanjang pesisir Pantai Ngalupolo kini dihantui rasa cemas. Betapa tidak, lahan pertanian mereka terus menyusut sepanjang musim akibat gerusan air laut. Bahkan sejumlah petani kini memilih meninggalkan lahan garapannya karena telah berubah menjadi lahan batu. 

Raymundus Mere, salah seorang petani pesisir mengaku, abrasi Pantai Ngalupolo sudah berlangsung lama. Ia pun meyakini kenyataan buruk ini akan terus terjadi, seiring cuaca ekstrim yang tidak menentu. “Banyak pohon kelapa dan jambu mete terseret air laut,” tandasnya.
Selain lahan pertanian yang terancam hilang, hempasan ombak besar di Pantai Ngalupolo juga mengancam bangunan SMP Negeri 2 Ndona. Lokasi gedung sekolah yang dibangun hanya beberapa meter dari bibir pantai ini, sebagian tembok penyokong telah ambruk dihantam ombak. 

Sejumlah nelayan tradisional di Pantai Ngalupolo mengaku khawatir dengan keselamatan gedung sekolah tersebut. Padahal menurut mereka, keberadaan SMP Negeri 2 Ndona di Desa Ngalupolo sangat membantu orang tua murid  yang kurang mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke tingkat lanjutan pertama di kota. Bahkan sekolah tersebut tidak hanya menampung anak-anak dari Desa Ngalupolo  tetapi anak-anak dari desa lain juga banyak.
Kendati tingkat abrasi Pantai Ngalupolo kian mencemaskan, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda upaya penanggulangi baik dari masyarakat setempat maupun  pemerintah.***
  

Selasa, 14 Juni 2011

Legenda “Tanjung Setan” Ngalupolo

p70101163










Bagi masyarakat Kabupaten Ende, Flores, NTT, “Ngalupolo” sudah tidak asing lagi. Kampung tradisional di kawasan perbukitan tandus pesisir pantai selatan berjarak tempuh belasan kilometer dari pusat Kota Ende ini, memang “terkenal”. Terkenal, lantaran mitos keganasan “Tanjung Setan”.

DALAM bahasa Ende-Lio, Ngalupolo merupakan gabungan dua suku kata, yaitu, Ngalu dan Polo. Ngalu artinya tanjung atau daratan yang menjorok ke laut, sedangkan Polo artinya, suanggi/setan atau leak dalam bahasa Bali. 
Nah, apabila kedua suku kata itu digabungkan, menjadi Ngalu-polo, maka artinya, tanjung setan (suanggi) atau yang lebih populer di masyarakat Ende saat ini disebut “tanjung ganas”. Ganas, lantaran dianggap keramat karena ada embel-embel setan. Selain itu, karakteristik pantainya pun memiliki karang terjal dan ombak besar.

Secara kasat mata, Ngalupolo, tak ubah dengan tanjung-tanjung pada umumnya, dimana sebentuk daratan yang menjorok jauh ke tengah laut. Banyak versi tentang legenda “Tanjung Setan” Ngalupolo. Masyarakat setempat meyakini, Pantai Ngalupolo memiliki kekuatan mistis yang luar biasa, karena kawasan itu bersemayam roh leluhur mereka (Demulaka). Konon, Demulaka adalah orang pertama yang mendiami (bermukim) di Ngalupolo sejak ratusan tahun silam, hingga beranak cucu sampai sekarang. Seiring waktu, keturunan Demulaka terus berkembang biak dan mereka mulai membangun pemukiman di darat tak jauh dari pesisir pantai Ngalupolo. Lokasi pemukiman itulah yang dinamai Kampung Ngalupolo. Hingga sekarang, orang Ngalupolo meyakini, leluhur mereka Demulaka bersama seekor anjing piaraannya berwarna putih dengan postur sebesar anak kuda yang diberi nama Lako Dota masih setia menjaga Kampung Ngalupolo.

Berdasarkan cerita rakyat Ngalupolo dari turun temurun, tokoh Demulaka selalu digambarkan, sebagai seorang petualangan yang memiliki akal cerdas. Ia hidup berpindah-pindah tempat dan menempati goa sebagai tempat berlindung. Sejatinya, Demulaka sendiri memiliki kerabat, isteri dan anak, namun kisah tentang orang-orang dekat dalam kehidupannya tersebut tidak ditonjolkan, sehingga riwayat hidupnya seakan sebatang kara.

Di masa tua, Demulaka akhirnya memutuskan memilih tempat tinggal sebuah goa tepat di bibir tanjung Ngalupolo. Tujuannya tidak lain, memudahkan dirinya mencari ikan di pantai. Kala malam tiba, tak lupa ia menyalakan api unggun, untuk membakar ikan, umbi-umbian atau sekadar menghangatkan tubuh untuk mengusir dinginnya angin malam.

Tapi ironi, nyala api unggun setiap malam tersebut, menimbulkan persepsi lain oleh orang-orang yang menyaksikan dari kejauhan, termasuk para nelayan saat melintas di tengah laut. Orang-orang menganggap, penampakan nyala api di tanjung setiap malam, akibat perbuatan setan ketika menunjukkan eksistensi jahatnya, karena diyakini daratan terpencil semacam itu, tidak mungkin ada penghuni (manusia) bermukim di sana, kecuali, setan.
Mitos ada kekuatan “jahat” di pantai Ngalupolo semakin diperkuat dengan beberapa kali terjadi musibah nelayan terseret ombak ganas di tempat itu. Peristiwa ini akhirnya terus berkembang dari mulut ke mulut, sehingga pantai Ngalupolo dipercaya sebagai pantai gaib yang begitu menakutkan. Mungkin akibat ganasnya ombak hingga sering menelan korban inilah, akhirnya tanjung itu dinamai “Ngalupolo” alias “Tanjung Setan”.

Padahal bila ditinjau dari segi ilmiah, seperti yang terdapat dari berbagai sumber, baik buku-buku maupun yang tersebar di media online, sejatinya profil pantai selatan yang terkenal dengan keganasan ombak pada umumnya berkarakteristik sama, termasuk Pantai Ngalupolo. Dimana, munculya ombak berenergi kuat dengan ketinggian tertentu dikarenakan pantai berbatasan langsung dengan laut lepas. Nah, untuk pantai selatan Pulau Flores (Ende-Ngalupolo) sangat jelas yakni berbatasan dengan Laut Sawu.

Ada tiga faktor pemicu terjadinya ombak, yaitu arus pasang-surut (swell), angin pantai (local wind), dan pergeseran (turun-naik) massa batuan di dasar samudera.
Di pantai selatan manapun, kombinasi antara gelombang pasang surut dan angin lokal yang bertiup kencang, khususnya saat musim Barat, akan menimbulkan ombak besar. Di tempat-tempat tertentu, penggabungan (interference) antara gelombang swell dengan gelombang angin lokal dapat membentuk ombak setinggi 2 - 3 m atau lebih.

Bentuk morfologi dasar laut di sejumlah lokasi pantai selatan juga sangat memungkinkan terjadinya hempasan gelombang dahsyat ke pantai yang sekaligus memicu terjadinya arus seretan. Sebagai pantai yang mengalami pengangkatan (uplifted shoreline) dengan proses abrasi cukup kuat, profil pantai selatan umumnya memiliki zone pecah gelombang (breaker zone) dekat garis pantai. Akibatnya, zone paparan (surf zone) menjadi sempit.

Bila terjadi interferensi gelombang, maka atenuasi ombak akan terjadi sehingga membentuk gelombang besar. Karena daerah paparannya sempit, meski gelombang akan pecah di zone pecah gelombang, hempasan ombaknya masih dapat menyapu pantai dengan kekuatan besar.
Boleh percaya boleh tidak. Namun, mitos “Tanjung Setan” Ngalupolo terus diyakini masyarakat dari generasi ke genarasi. Khususnya kalangan nelayan mulai dari pesisir Ende, Wolotopo, Ngalupolo, Reka, Kekasewa, Wolokota, Nila , Nggela, Ndori bahkan hingga Maumere.

ditulis, Maret, 2011
***tulisan ini dibuat berdasarkan cerita rakayat dan kenyataan kehidupan masyarakat Ngalupolo, bila ada kekeliruan mohon penyempurnaan.

Ngalupolo Riwayatmu Kini…….


ruu5
Mosalaki Pu'u Desa Adat Ngalupolo, Geradus Ru'u.

KEPRIHATINAN itu kian menguat, semakin hari makin mengkristal dalam benak, hingga membuat perasaan bingung, sedih, jengkel bercampur-aduk melihat satu persatu warisan leluhur adiluhung berguguran. Punah akibat ambisi dan keserakahan. Padahal tongkat estafet dan amanat mulia yang disematkan pendahulu agar kearifan lokal tersebut terus ditegakkan oleh mosalaki untuk menjamin persatuan dan keutuhan kampung, namun, disalahgunakan, sebaliknya yang ada hanya, ambisi kekuasaan. Siapa yang paling kuat dan siapa yang paling berwewenang.

Begitulah kira-kira potret buram perjalanan adat di kampung Ngalupolo dari era 80-an hingga terpuruk saat ini. Dan, sekarang anak-cucu hanya bisa menyaksikan serpihan-serpihan budaya berikut benda-benda pusaka yang tersisa, kemudian hilang terhembus tanpa jejak.
Padahal sejatinya, budaya merupakan cermin diri suatu komunitas masyarakat yang mengandung nilai-nilai penting dan fundamental untuk diwariskan dari generasi ke generasi. Maka sudah selayaknya dengan ketulusan hati dan penuh rasa hormat warisan tersebut harus dijaga dan dijunjung tinggi agar tidak luntur atau hilang. Sehingga dapat dipelajari serta dilestarikan generasi berikutnya terutama soal kebenaran yang berdasar pada etika dan moral. Tapi nyatanya, tidak dengan masyarakat tradisional Ngalupolo. Orang Ngalupolo cenderung terbawa arus perkembangan jaman. Kemajuan teknologi telah menyeret orang Ngalupolo hingga lupa akan citra dirinya sebagai masyarakat adat. Mereka lebih memilih pola hidup instant dan dikendalikan kecanggihan teknologi, ketimbang bersusah payah menjaga dan melestarikan budaya.
 
Tengok saja, rangkaian ritual seperti, nggua kibi (ritual permohonan pada roh leluhur untuk menentukan lahan baru bercocok tanam) yang seharusnya menjadi simbol kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, kini tak pernah lagi digelar. Nasib upacara adat yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Juli selama tujuh hari tujuh malam ini, sejak pertengahan era 80-an seakan lenyap ditelan bumi. Sementara para tetua adat atau mosalaki sebagai penggerak maupun penanggung jawab upacara, lebih memilih cekcok merebut kekuasaan. Siangkatnya, siapa paling berhak atas harta warisan.
 
Nah, berpangkal dari sinilah, awal kehancuran adat di kampung Ngalupolo. Waktu terus berjalan, “Keda- Kanga” sebagai sentral pegelaran ritual dibiarkan tak terurus. Rumah-rumah adat yang memiliki nilai sejarah dan keunikan, dirombak menjadi bergaya modern. Sa’o Sue, Sa’o Ata Laki, Sa’o Banggokoli, Sa’o Jalaramba, Sa’o Daleko, Sa’o Pakele, Sa,o Tawolo adalah bukti dari korban ‘kesombongan jaman’. Orang Ngalupolo rupanya ‘malu’ mempertahankan warisan leluhur. Mungkin takut dicap kolot, kuno atau jadul (jaman dulu) jika di kampung mereka masih bertebaran rumah-rumah tradisional (rumah adat). Dan, lebih tragis lagi, raibnya sejumlah ana deo di dalam keda. Padahal patung kayu berwujud manusia ini, oleh masyarakat setempat (dari generasi ke generasi) disakralkan, karena diyakini bersemayam roh para leluhur yang menjaga dan memberi ketentraman kampung.
 
Membayangkan hal ini memang sungguh menyakitkan. Apalagi mengetahui kampung-kampung suku lio lainnya di Kabupaten Ende, Flores begitu gigih mempertahankan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Hingga sampai saat ini masih terjaga kelestariannya sebagai nilai-nilai budaya yang filosofis. Budaya dipercaya sebagai dasar dalam gerak dan langkah sesuai bidang tugas dan fungsi pelakunya masing-masing. Sebab, kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang dianggap sangat banyak memberikan sebuah kebenaran yang berdasar pada etika dan moral.
 
Tapi ironi bagi orang Ngalupolo, lebih memilih menenggelamkan kekayaan yang ia miliki jauh ke dasar laut hingga sulit untuk didapatkan kembali. Maka tidaklah heran, hakekatnya budaya sebagai wujud kebiasaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun hingga memiliki pola pikir dan kehidupan sosial atau membedakan mereka dengan penduduk-penduduk yang lain seakan tidak berlaku dalam kehidupan orang Ngalupolo saat ini.
Namun anehnya, ketika pemerintah daerah mulai menggalahkan desa wisata, orang Ngalupolo seakan kebakaran jenggot. Panik, bahkan ambisi dan berangan-angan untuk menjadikan Ngalupolo sebagai salah satu kampung tradisional atau daerah tujuan wisata. 

Pertanyaannya, apa yang akan dibanggakan orang Ngalupolo sementara semua aset (kekayaan budayanya) telah tercabik-cabik?. Lalu apa yang kita rasakan saat ini, pasca terkuburnya ritual selama 20 tahun terakhir? Bencana alam (banjir), hama binantang (kera, babi hutan) seakan terus menggerogoti lahan pertanian warga. Dan hanya masyarakat Ngalupolo lah yang bisa menjawab itu.Tengok saja beberapa tahun terakhir, orang Ngalupolo yang mayoritas berprofesi sebagai petani justru kebanyakan tidak memiliki kebun. Orang-orang cenderung beralih profesi menjadi pekerja proyek atau sebagai tukang ojek. Para orang tua setiap bulan hanya menunggu kiriman anaknya yang PNS atau yang merantau ke daerah lain. sampai kapan Ngalupolo akan terus sepertii ini?
Hmm,…………….Sungguh IRONI.


ditulis, Januari 2011

Bikin Malas, Stop Raskin!

Ibu-ibu dengan semangat menolak raskin
DESA Ngalupolo, Kecamatan Ndona,  Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu Desa di Indonesia yang berani menolak program pemerintah terkait sumbangan beras miskin (raskin).
Kesepakatan 1.025 warga dari 258 kepala keluarga (KK) untuk tidak menerima penyaluran raskin tersebut, dikemukakan langsung di hadapan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan Bupati Ende, Drs. Don Bosco M. Wangge, M.Si, Selasa (6/7/2010) di Ngalupolo dalam acara tatap muka, Gubernur dan masyarakat Ngalupolo.

Permintaan warga untuk menghentikan sumbangan raskin ke Ngalupolo, membuat sejumlah pejabat Propinsi NTT dan Pejabat di Kabupaten Ende yang turut dalam rombongan Gubenur tercengang. Sejumlah pejabat berpandangan, masyarakat Ngalupolo berani mengambil resiko padahal kondisi real pertanian di daerah itu berada di lahan kritis, mestinya raskin dapat membantu pemenuhan kebutuhan pangan mereka.

Tetapi rupanya mayarakat Ngalupolo berfikir lain. Pada awal tahun 2010, dalam musyawarah desa (Musdes) warga dari empat dusun di desa itu, membuat kesepakatan untuk tidak lagi menerima raskin. Keputusan penolakan raskin pun ditetapkan dalam rembug adat oleh tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerintah.

Kepala Desa Ngalupolo, Raimundus Ru’u, menerangkan, raskin telah menjadi pemicu warga malas berkebun. “Selama penggelontoran beras miskin beberapa tahun terakhir, masyarakat Ngalupolo seakan dimanjakan, sehingga enggan lagi ke kebun,” katanya.

Raimundus Ru’u menambahkan, penolakan juga untuk mendukung program Swasembada pangan yang digulirkan pemerintah Propinsi NTT dan pemerintah Kabupaten Ende. Dalam program itu, masyarakat didorong untuk kembali menghidupkan pangan lokal yang ada seperti jagung, pisang, ubi-ubian, serta kacang-kacangan. “Penolakan ini tidak semata untuk menghindari ketergantungan masyarakat terhadap raskin, namun ada korelasi untuk mendukung program pemerintah dalam menghidupkan kembali pangan lokal,” tegas Raimundus Ru’u.

Sekadar diketahui, secara geografi luas wilayah Desa Ngalupolo 164 kilometer. Dari luas tersebut, 300,414 hektare adalah lahan kering, 78 hektare kawasan hutan dan sisanya 45 hektare lahan pertanian.

Bila dilihat dari luas wilayah yang didominasi lahan kering, maka sudah bisa ditebak, kawasan desa di perbukitan tandus ini, tidak memiliki hasil pertanian unggulan secara spesifik. Satu-satunya andalan sistem pertanian warga setempat adalah pola tumpang sari dengan lahan garap berpindah-pindah tempat. ****

Lebu Raya dan Sejarah Baru Masyarakat Ngalupolo

Rombangan Gubernur disambut oleh para mosalaki
LANGIT di atas kampung Ngalupolo, Selasa 6 Juli 2010 tampak mendung. Matahari yang biasanya sumringah menyapa pagi warga dari balik bukit, belum menampakkan batang hidungnya. Hingga pukul 10.00 WITA, kabut tebal masih menyelimuti hutan-hutan di atas bukit. Hujan rintik pun mulai membasahi tanah kampung. Praktis, cuaca yang kurang bersabat ini membuat warga cemas. Mereka khawatir, rencana kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya ke kampung hari itu akan batal.

Sementara tepat di tengah-tengah kampung berdiri tenda sederhana ukuran 15×10 meter beratap terpal kusam dan deretan kursi-kursi plasik yang ditata melingkari sebuah tubu musu (prasasti, tempat pelaksanakan ritual pemujaan atau persembahan pada roh para leluhur) seakan tak sabar menanti kehadiran rombongan gubernur.

Alunan suara nggo lamba (musik tradisional) untuk mengiringi ibu-ibu penari saat melakukan penyambutan terdengar kian kencang ditabuh. Bersamaan itu, ratusan warga berbondong-bondong menuju jalan masuk (gerbang kampung) dari kota Ende, tepatnya di Nua Ndewi. Di, tempat inilah rombongan Gubernur NTT dan Bupati Ende Drs. Don Bosco M. Wangge, M.Si bakal disambut secara adat Ngalupolo oleh mosalaki (para pemangku adat).

Namun, hingga pukul 12.00 WITA, rombongan yang dinanti belum juga datang. Beberapa warga mulai kesal. Mereka tidak yakin, tokoh penting seperti gubernur melakukan kunjungan kerja di suatu tempat (desa) terpencil hanya diinformasikan dalam dua hari sebelumnya, “jelas terlalu mendadak,” pikir mereka. Selain itu, cuaca yang kurang bersahabat, sangat tidak mungkin orang nomor satu di NTT tersebut rela menantang maut melintasi jalan terjal, menelusuri tebing tinggi dan jurang yang dalam dengan jarak tempuh belasan kilometer.

Tapi sungguh sebuah “keajaiban” bagi masyarakat Ngalupolo, tepat pukul 12.45 WITA, iringan mobil pengantar rombongan gubernur dan bupati memasuki kampung. Sontak, sorak-sorai warga terdengar riuh. Dan ketika itu pula, tujuh orang mosalaki melakukan penyambutan secara adat, seraya mempersilakan rombongan menelusuri tengah kampung hingga menuju tenda yang telah dipersiapkan.

Sejarah dan Perutusan

Tokoh masyarakat Ngalupolo, Marselinus Neni tak dapat menyembunyikan rasa haru atas kedatangan Gubernur Frans Lebu Raya dan Bupati Don Bosco Wangge. Ia bahkan sempat meneteskan air mata. “Bagi kami, kehadiran bapak-bapak hari ini bagaikan durian runtuh. Ini berkah yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya,” tuturnya dalam acara dialog.

Rasa simpati dan apresiasi yang tinggi juga diungkapkan tokoh masyarakat Oktavianus Minyo. Menurut Minyo, kehadiran dua pemimpin daerah (Gubernur dan Bupati) secara bersama, telah mengukir sejarah baru bagi Desa Ngalupolo. “Sungguh luar biasa dan menjadi sejarah bagi kampung kami. Karena sejak Indonesia mardeka, baru kali ini Gubernur dan Bupati mengijakkan kaki secara bersama di kampung terpencil ini,” katanya.

Kepala SD Katolik St. Yosef Ngalupolo, Theodorus Dua, bahkan dalam doa spontannya menyebut, kehadiran dua pemimpin itu sebagai tugas perutusan dari Tuhan.
Rasanya tidak berlebihan, jika Theodorus Dua menganggap kunjungan itu sebagai tugas perutusan Tuhan. Pasalnya, secara kasat mata, realita kampung Ngalupolo sangat tidak mungkin didatangi pejabat setingkat gubernur baik dilihat dari pertimbangan politik maupun ekonomi. Selain, perjalanan penuh resiko melintasi tebing dan jurang yang terjal, Ngalupolo memang tidak memiliki potensi unggulan dari sumber daya alam (SDA) untuk menunjang PAD, karena merupakan daerah gersang dan tandus. Begitu pula jumlah penduduk pun hanya ratusan jiwa.
Melihat kenyataan ini memang sungguh ironi, bila Gubernur Lebu Raya memilih Ngalupolo ketimbang desa-desa lain di Kabupaten Ende yang lebih strategis sebagai tujuan kunjungan kerjanya.
Tidak heran, bila banyak kalangan di Kabupaten Ende yang cemburu dan menanyakan ada apa dengan Ngalupolo?. Tapi bagi masyarakat Ngalupolo, inilah misteri Tuhan. Entah apapun namanya misi kehadiran Gubernur saat itu, hanya sekadar jalan-jalan (piknik) ataupun kunjungan kerja, namun telah memberi banyak makna di hati mereka.
Hangat, Gubernur menyapa anak-anak SD

Frans Lebu Raya sendiri tampak menikmati ketika berada di tengah-tengah masyarakat Ngalupolo. Bahkan, Gubernur NTT yang ke 7 ini, tanpa sungkan menggandeng tangan anak-anak SD seraya mengajak bicara, hal yang sama pun dilakukanya kepada ibu-ibu.
Dalam sambutannya, Lebu Raya mengaku bangga dengan masyarakat Ngalupolo yang tegar menjalani hidup meski berada dalam kondisi alam menantang (ekstrim). Dikisahkan Lebu Raya, potret Desa Ngalupolo menjadi ilustrasi kenangan  semasa dirinya masih kanak-kanak di kampung halaman, Flores Timur. Dimana hidup di desa terpencil dengan penuh keterbatasan, namun  dengan semangat hidup yang tinggi segala kesulitan itu bisa dilalui. “Sekarang kita boleh bersyukur, akses jalan raya sudah masuk sehingga masyarakat bisa menggunakan kendaraan untuk berpergian ke kota. Kenyataan baik ini, tidak terlepas dari kerja keras bapak-ibu dalam mendukung program pembangunan pemerintah,” ujarnya.

Bagi dirinya, mengarungi jalan berliku di atas tebing terjal dan jurang yang dalam bukan menjadi halangan untuk terus maju. “Pemimpin mesti berani berkorban, sebesar apapun tantangan harus dihadapi untuk melihat langsung kondisi masyarakat di bawah,” katanya.
Dalam kunjungan tersebut, Frans Lebu Raya menggelontorkan sumbangan semen 100 sak, sumbangan dana untuk Gereja, Masjid, SD K. St. Yoseph Ngalupolo, SMPN 2 Ndona di Ngalupolo, kelompok kerajinan tenun dan kelompok nelayan. ***
ditulis, Juli 2010

PLTP Mutubusa dan Kecemasan Warga Ngalupolo

KENDATI mendapat kecaman dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan dan elemen mahasiswa, megaproyek pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mutubusa di Desa Sokoria, Kecamatan Ndona Timur, Kabupaten Ende, Flores, NTT dipastikan terus berjalan.

PT. Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) selaku pemegang hak pengembang yang merupakan konsorsium antara perusahaan Bakrie Power dan perusahaan ENI, anak perusahaan dari PT PLN (Persero) rupanya sudah bulat untuk mewujudkan proyek multiyear yang direncakan sejak beberapa tahun silam ini.

Pemerintah Kabupaten Ende pun mendukung sepenuhnya pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi ini, hal tersebut ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara PT SGI-Pemkab Ende di Kantor Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral Panas Bumi dan Batubara (Minerab) di Jakarta, 17 September 2009. Pada kesempatan ini pemegang tender yakni PT SGI menggelontorkan uang jaminan sebesar 100 Miliar Rupiah kepada Pemkab Ende sebagai wujud keseriusan. (Flores Post, September 2009). Sementara di lokasi proyek, sejumlah fasilitas pendukung tengah dikerjakan, tinggal saatnya menunggu pengeboran.

Bagi pemerintah Kabupaten Ende, realisasi proyek panas bumi Mutubusa setidaknya memberi harapan baru terhadap ketersediaan energi listrik di daerah ini. Wakil Bupati Ende Bernadus Gadobani (ketika masih aktif) menyebut, estimasi kajian Badan Geologi dan Sumber Daya Mineral yang berkedudukan di Bandung, kawasan Mutubusa memiliki sumber panas bumi yang dapat menghasilkan daya listrik berkisar 25 megawatt (MG). Jika PLTP tersebut terealisasi dengan kapasitas daya sebesar itu, maka seluruh wilayah Kabupaten Ende akan terlayani penerangan listrik. Bahkan, daya listrik itu masih dapat dijual ke kabupaten tetangga. Sebab untuk penerangan seluruh Ende hanya perlu 4,5 MG (Kompas online, Kamis 18 Mei 2006).

Namun di tengah optimisme Ende bakal menjadi daerah pensuplai energi listrik di daratan Flores, justeru memunculkan rasa cemas warga kampung bagian hilir pegunungan Mutubusa hingga kampung pesisir pantai Ngalupolo. Orang-orang kampung di kawasan ini khawatir, efek eksplorasi panas bumi Mututubusa berdampak pada kerusakan lingkungan. Bayangan banjir bandang yang menghabiskan ratusan hekar sawah dan lahan pertanian berikut ternak mereka pada pertengahan tahun 90-an akan terulang kembali.

Adalah masyarakat Desa Ngalupolo yang kini sangat risau. Penduduk berjumlah sekitar 600 jiwa mayoritas petani ini sejak puluhan tahun silam mengandalkan tanah bantaran sungai untuk lahan pertanian (sawah), tapi kini tinggal kenangan. Bantaran itu telah berubah menjadi ladang batu. Dan, ketika itu pula, orang Ngalupolo kesulitan bercocok tanam, andalan penghidupan sehari-hari, biaya sekolah anak bertumpu pada hasil tenun sang isteri. Praktis, akhir tahun 90-an sebagain masyarakat Ngalupolo kehilangan mata pencarian tetap, akibatnya beralih profesi menjadi pekerja proyek.

Kenyataan keterpurukan nasib pertanian Ngalupolo memang nyaris tak terendus pemerintah dan terekspos media massa. Kehidupan masyarakatnya pun dipandang wajar-wajar saja, sejatinya perekonomian masyarakat Ngalupolo sangat rapuh.
Trauma akan bencana banjir dan ancaman kekeringan seiring gencarnya pemerintah menggolkan proyek PLTP Mutubusa semakin menambah beban sikologis masyarakat Ngalupolo. Maklum, air sungai yang menjadi sumber kebutuhan sehari-hari di daerah ini berasal dari pegunungan Sokoria. Nah, apa jadinya jika sebagian hutan kawasan hulu sungai tersebut dibabat untuk kepentingan proyek. Sementara memasuki musim kemarau saja, aliran sungai ini terancam kering. Debit air menurun drastis.

Pada titik inilah, pemerintah mesti jeli melakukan kajian teknis dan ilmiah terhadap dampak lingkungan (Amdal) dari eksplorasi atau eksploitasi pertambangan panas bumi Mutubusa.
Pemerintah, seharusnya tidak memandang sebalah mata terhadap penolakan yang disuarakan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI) Ende.

Fakta terburuk kerusakan lingkungan yang diakibatkan eksplorasi alam sudah sering terjadi di Indonesia dan masyarakatlah yang menerima kerugian. Semburan lumpur panas di Sidoarja, Jawa Timur dan Mataloko, Bajawa adalah sebagian kecil dari kebanyakan dampak buruk eksplorasi gas alam di Indonesia.

Fakta lain yang mesti menjadi atensi dan referensi pemerintah Kabupaten Ende khususnya anggota DPRD untuk mempertimbangkan pengeboran gas bumi Mutubusa, yakni bercermin dari penolakan masyarakat Bali terhadap proyek geothermal di Bedugul. Dimana masyarakat di Pulau Dewata ini seiya-sekata untuk mengentikan proyek berkapasitas maksimum 175 MW Equivalent tersebut. Atau penolakan serupa yang dilakukan masyarakat Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat serta masyarakat Desa Karang Kandri, Kecamatan Kesugihan Cilacap, Jawa Tengah. Tujuannya hanya satu, demi keselamatan lingkungan.

Krisis energi listrik sesungguhnya bukan hal baru menimpa negeri ini. Pemadaman bergilir bahkan black out (padam total) dengan beragam alibi sudah seringkali dilakukan pemerintah sejak bertahun-tahun lalu. Alasan yang biasa diajukan adalah karena kelebihan beban saat jam-jam sibuk (baban puncak), selain itu pasokan minyak dan batu bara untuk pembangkit listrik yang sering tersendat juga kerap dijadikan alasan sebagai justifikasi pemadaman listrik yang biasa lakukan.

Berpijak dari alasan klasik tersebutlah, seakan melegitimasi pemerintah dan pengembang mencari sumber energi alternatif dari panas bumi atau sejenisnya. Padahal masih banyak cara lain skenario mengatasi devisit energi listrik yang ramah lingkungan.

Di Indonesia energi ramah lingkungan atau energi hijau (green energy) memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan. Merujuk ke sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui dan tidak mencemari lingkungan seperti air, sinar matahari dan angin, termasuk juga energi yang berasal dari makhluk hidup atau yang lebih dikenal (biomassa). Misalnya, minyak jelantah.
Kembali pada eksplorasi perut bumi, celakanya, jika solusi tanpa melalui kajian yang mendalam terlebih dulu, maka, kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat jadi sasaran. Dan, lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat awam yang mempunyai keterbatasan daya dalam memperjuangkan hak-hak mereka. ***

ditulis, september 2009

Jalan Baru Meniti Harapan


SUATU siang di desa Ngalupolo, Ende, Nusa Tenggara Timur. Di tengah terik matahari, terlihat sekelompok pemuda pemudi berdiri di hamparan tanah beberapa meter di atas laut. Meski berkeringat namun tak nampak keletihan di muka mereka, bahkan harapan terbersit dalam sinar mata mereka.

Mereka adalah Paulus Sani, Nahlis, Bari, Maria dan teman-teman lainnya yang merupakan anggota-anggota Komisi Investasi Desa (KID) dan Fasilitator Desa yang terlibat dalam kegiatan PFI3P.
Pandangan mereka terfokus pada alat berat yang sedang dijalankan untuk membuka jalan baru ke desa mereka. Jalan baru tersebut dibuat dengan mengikis perbukitan, terbentang memanjang, meliuk mengikuti bukit di atas permukaan laut. 
Pantaslah pandangan mereka penuh harap karena dengan adanya jalan tersebut kehidupan di desa akan semakin marak, menjual hasil pertanian tak lagi berat dengan harus memanggul dan berjalan berkilometer di atas bukit untuk sampai ke kota. Alat transportasi pun semakin dekat ke batas desa. Robertus Metu, sopir angkot pun merasakan berkah dengan adanya pembukaan jalan baru tersebut. Angkutannya bisa beroperasi semakin jauh sehingga penumpang semakin banyak.

Desa Ngalupolo merupakan salah satu desa target investasi desa di Kabupaten Ende melalui Proyek PFI3P. Dengan adanya jalan baru membuka akses petani, sehingga hasil pertaniannya dapat dipasarkan lebih luas, akses informasi pertanian juga meningkat.

naskah dan foto oleh : pfi3p.litbang.deptan.go.id/index.php
Kamis, 08 September 2005 00:00 Info Aktual