Selasa, 14 Juni 2011

Ngalupolo Riwayatmu Kini…….


ruu5
Mosalaki Pu'u Desa Adat Ngalupolo, Geradus Ru'u.

KEPRIHATINAN itu kian menguat, semakin hari makin mengkristal dalam benak, hingga membuat perasaan bingung, sedih, jengkel bercampur-aduk melihat satu persatu warisan leluhur adiluhung berguguran. Punah akibat ambisi dan keserakahan. Padahal tongkat estafet dan amanat mulia yang disematkan pendahulu agar kearifan lokal tersebut terus ditegakkan oleh mosalaki untuk menjamin persatuan dan keutuhan kampung, namun, disalahgunakan, sebaliknya yang ada hanya, ambisi kekuasaan. Siapa yang paling kuat dan siapa yang paling berwewenang.

Begitulah kira-kira potret buram perjalanan adat di kampung Ngalupolo dari era 80-an hingga terpuruk saat ini. Dan, sekarang anak-cucu hanya bisa menyaksikan serpihan-serpihan budaya berikut benda-benda pusaka yang tersisa, kemudian hilang terhembus tanpa jejak.
Padahal sejatinya, budaya merupakan cermin diri suatu komunitas masyarakat yang mengandung nilai-nilai penting dan fundamental untuk diwariskan dari generasi ke generasi. Maka sudah selayaknya dengan ketulusan hati dan penuh rasa hormat warisan tersebut harus dijaga dan dijunjung tinggi agar tidak luntur atau hilang. Sehingga dapat dipelajari serta dilestarikan generasi berikutnya terutama soal kebenaran yang berdasar pada etika dan moral. Tapi nyatanya, tidak dengan masyarakat tradisional Ngalupolo. Orang Ngalupolo cenderung terbawa arus perkembangan jaman. Kemajuan teknologi telah menyeret orang Ngalupolo hingga lupa akan citra dirinya sebagai masyarakat adat. Mereka lebih memilih pola hidup instant dan dikendalikan kecanggihan teknologi, ketimbang bersusah payah menjaga dan melestarikan budaya.
 
Tengok saja, rangkaian ritual seperti, nggua kibi (ritual permohonan pada roh leluhur untuk menentukan lahan baru bercocok tanam) yang seharusnya menjadi simbol kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, kini tak pernah lagi digelar. Nasib upacara adat yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Juli selama tujuh hari tujuh malam ini, sejak pertengahan era 80-an seakan lenyap ditelan bumi. Sementara para tetua adat atau mosalaki sebagai penggerak maupun penanggung jawab upacara, lebih memilih cekcok merebut kekuasaan. Siangkatnya, siapa paling berhak atas harta warisan.
 
Nah, berpangkal dari sinilah, awal kehancuran adat di kampung Ngalupolo. Waktu terus berjalan, “Keda- Kanga” sebagai sentral pegelaran ritual dibiarkan tak terurus. Rumah-rumah adat yang memiliki nilai sejarah dan keunikan, dirombak menjadi bergaya modern. Sa’o Sue, Sa’o Ata Laki, Sa’o Banggokoli, Sa’o Jalaramba, Sa’o Daleko, Sa’o Pakele, Sa,o Tawolo adalah bukti dari korban ‘kesombongan jaman’. Orang Ngalupolo rupanya ‘malu’ mempertahankan warisan leluhur. Mungkin takut dicap kolot, kuno atau jadul (jaman dulu) jika di kampung mereka masih bertebaran rumah-rumah tradisional (rumah adat). Dan, lebih tragis lagi, raibnya sejumlah ana deo di dalam keda. Padahal patung kayu berwujud manusia ini, oleh masyarakat setempat (dari generasi ke generasi) disakralkan, karena diyakini bersemayam roh para leluhur yang menjaga dan memberi ketentraman kampung.
 
Membayangkan hal ini memang sungguh menyakitkan. Apalagi mengetahui kampung-kampung suku lio lainnya di Kabupaten Ende, Flores begitu gigih mempertahankan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Hingga sampai saat ini masih terjaga kelestariannya sebagai nilai-nilai budaya yang filosofis. Budaya dipercaya sebagai dasar dalam gerak dan langkah sesuai bidang tugas dan fungsi pelakunya masing-masing. Sebab, kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang dianggap sangat banyak memberikan sebuah kebenaran yang berdasar pada etika dan moral.
 
Tapi ironi bagi orang Ngalupolo, lebih memilih menenggelamkan kekayaan yang ia miliki jauh ke dasar laut hingga sulit untuk didapatkan kembali. Maka tidaklah heran, hakekatnya budaya sebagai wujud kebiasaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun hingga memiliki pola pikir dan kehidupan sosial atau membedakan mereka dengan penduduk-penduduk yang lain seakan tidak berlaku dalam kehidupan orang Ngalupolo saat ini.
Namun anehnya, ketika pemerintah daerah mulai menggalahkan desa wisata, orang Ngalupolo seakan kebakaran jenggot. Panik, bahkan ambisi dan berangan-angan untuk menjadikan Ngalupolo sebagai salah satu kampung tradisional atau daerah tujuan wisata. 

Pertanyaannya, apa yang akan dibanggakan orang Ngalupolo sementara semua aset (kekayaan budayanya) telah tercabik-cabik?. Lalu apa yang kita rasakan saat ini, pasca terkuburnya ritual selama 20 tahun terakhir? Bencana alam (banjir), hama binantang (kera, babi hutan) seakan terus menggerogoti lahan pertanian warga. Dan hanya masyarakat Ngalupolo lah yang bisa menjawab itu.Tengok saja beberapa tahun terakhir, orang Ngalupolo yang mayoritas berprofesi sebagai petani justru kebanyakan tidak memiliki kebun. Orang-orang cenderung beralih profesi menjadi pekerja proyek atau sebagai tukang ojek. Para orang tua setiap bulan hanya menunggu kiriman anaknya yang PNS atau yang merantau ke daerah lain. sampai kapan Ngalupolo akan terus sepertii ini?
Hmm,…………….Sungguh IRONI.


ditulis, Januari 2011

1 komentar:

  1. Yanti Oemar, Jayapura7 Juli 2011 pukul 19.27

    Bagus tulisannya..salam kenalya..

    BalasHapus